ETIKA PROFESI ELEKTRO : Meminimalisir Suap dan Gratifikasi
Meminimalisir Suap dan Gratifikasi
A. Pengertian
Suap adalah tindakan memberikan uang, barang atau bentuk lain sebagai “balasan” atau “imbalan” dari pemberi suap kepada penerima suap yang dilakukan untuk mengubah sikap penerima atas kepentingan/minat si pemberi, walaupun sikap tersebut berlawanan dengan penerima.
Pasal 3 UU No. 3 Tahun 1980 juga menyebutkan definisi suap ini, yaitu bahwa penyuapan terjadi ketika ada orang yang menerima sesuatu atau janji, supaya ia melakukan (atau tidak melakukan) sesuatu yang menyangkut kepentingan umum atau perusahaan, bahkan yang berlawanan.
Contoh kasus yang paling mudah terjadi di kalangan karyawan misalnya seorang supplier atau vendor memberikan “amplop” kepada salah satu karyawan yang berwewenang agar mau ‘berbelanja’ kebutuhan produksi pada vendor yang bersangkutan. Padahal bisa saja, secara kualitas produk vendor belum masuk ke standar kualitas dari perusahaan.
Hal sebaliknya juga bisa terjadi. Misalnya karyawan dari sebuah perusahaan memberikan hadiah pada orang lain, misalnya di lembaga pemerintah, demi mendapatkan izin-izin tertentu untuk melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu.
Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Pelaku tindak gratifikasi ini bisa dipidana lo, dengan hukuman penjara 4 – 20 tahun, dan denda Rp200 juta – Rp1 miliar. Hal ini diatur dalam UU 31/1999 dan UU 20/2001 Pasal 12.
Mengacu pada buku saku KPK, contoh bentuk gratifikasi yang bisa terjadi misalnya :
- Penerimaan hadiah atau parsel dari pihak luar perusahaan oleh rekanan
- Penerimaan komisi karena sudah merekomendasikan rekanan
- Penerimaan potongan harga atas produk dari rekanan yang kemudian tidak dilaporkan ke perusahaan
- Dibiayai liburan setelah proyek selesai
- Dan masih banyak lagi.
Perbedaannya antara Suap dan Gratifikasi adalah jika dalam gratifikasi yang dilarang, pemberi gratifikasi memiliki maksud bahwa pemberian itu sebagai penghargaan atas dilakukannya suatu tindakan resmi, sedangkan dalam suap pemberi memiliki maksud (sedikit banyak) untuk mempengaruhi suatu tindakan resmi.
Kalau suap bersifat transaksional dan langsung, diberikan bersamaan dengan proses kerja sama yang sedang berlangsung. Sedangkan gratifikasi tidak bersifat transaksional–karena kadang diberikan setelah kerja sama selesai, atau bahkan belum ada sama sekali kerja sama. Ada yang menyebut gratifikasi ini sebagai “suap yang tertunda”, karena banyak yang dianggap sebagai “investasi” ataupun upaya untuk mencari perhatian.
B. Pembahasan
Meminimalisir suap dan gratifikasi
Mencegah korupsi adalah suatu pekerjaan yang berat untuk dilakukan. Pekerjaan memberantas korupsi harus dilakukan secara bersama-sama dan membutuhkan komitmen nyata dari pimpinan tertinggi. Selain itu, strategi pencegahan korupsi diperlukan, agar bahaya korupsi dapat ditanggulangi dan celahnya dapat ditutup. Pelaku usaha maupun pihak pemerintahan harus ada transparansi ataupun keterbukaan. Salah satu cara sederhana yang dapat dilakukan adalah dengan membenahi pungutan liar yang masih terjadi di masyarakat.
Pada UU Nomor 8 Tahun 2010 Tentang TPPU, pada Pasal 17 Ayat 1 Huruf b dinyatakan, bahwa perusahaan properti dan agen properti termasuk pihak-pihak yang berkewajiban melaporkan setiap transaksi yang diduga upaya pencucian uang.
Salah satu ciri tindak pencucian uang antara lain menggunakan nama orang lain pada pembuatan sertifikat properti atau yang sering terjadi menggunakan uang tunai. Pendekatan antara kelembagaan, regulasi, termasuk juga pelaku usaha menjadi hal yang penting untuk dilakukan. Hal tersebut diharapkan dapat menjadi salah satu upaya sekaligus aksi pemberantasan korupsi. “Apabila kita lakukan secara bersama-sama, itu sekaligus menjadi aksi pemberantasan korupsi,”. Kecenderungan seseorang melakukan korupsi disebabkan
tiga faktor dalam teori ini, yaitu pressure atau dorongan, opportunity atau peluang, dan rationalization atau pembenaran.
Bagaimana cara mengatasi hal ini? Terlebih memasuki tahun politik. Kondisi ini akan sangat sulit diubah jika pemerintah tak serius bersikap tegas terhadap perilaku suap menyuap yang dilakukan oleh kalangan pengusaha, pejabat, menteri maupun yang lainnya.
Praktik ini seolah-olah sudah menjadi tradisi atau sudah terbiasa dan disengaja dipelihara baik institusi negara maupun pengusaha. Bagaimana caranya agar Indonesia terbebas atau bersih dari kasus suap-menyuap?
Hal terpenting yaitu bagaimana pemerintah memperbaiki birokrasi dalam mengatur dunia usaha. Birokrasi yang rumit dan berbelit-belit adalah faktor yang paling berkontribusi untuk menyuburkan praktik suap-menyuap.
Selanjutnya adalah konflik kepentingan harus diatur secara tegas dalam aturan hukum. Hal ini untuk memutuskan rantai kolusi antara kepentingan pengusaha dan kewenangan yang melekat pada pejabat publik.
Terakhir adalah pada sektor penegakan hukum harus diperkuat. Akan sangat sulit memberantas kasus ini jika penegak hukum cenderung memperlemah upaya penegakan hukum, seperti dakwaan dan tuntutan. Pada akhirnya berbuah vonis ringan atau bahkan bebas dari tuntutan hukum.
Praktik suap menyuap yang telah menimbulkan ketidakadilan dalam pemenangan kontrak proyek mengurangi kualitas layanan dasar publik, menimbulkan iklim di sektor swasta yang tak kompetitif, dan menghancurkan kepercayaan masyarakat pada institusi publik.
Hal ini tak akan tercapai jika kalangan pengusaha tak ikut serta dalam upaya memberantas kasus suap-menyuap. Maka, pemerintah harus menciptakan birokrasi yang jujur, adil dan transparan.
Komentar
Posting Komentar